Pedoman Pembuatan Naskah Berita/Advetorial/Opini Anda
berdasarkan peraturan:
DEWANPERS
PERATURAN DEWAN PERS NOMOR: I /PERATURAN-DP/II/2019
TENTANG PEDOMAN PEMBERITAAN RAMAH ANAK
Menimbang :
a. bahwa anak merupakan tunas, potensi dan generasi muda
penerus cita –cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri dan sifat
khusus sehingga perlu melindungi harkat dan martabat anak;
b. bahwa peran serta wartawan Indonesia dalam melindungi
harkat dan martabat anak adalah menjaga segala bentuk pemberitaan negatif
tentang anak dengan tetap menjaga kemerdekaan pers dan mengembangkan pers yang
profesional dan bertanggunjawab;
c. bahwa perlu ditetapkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak bagi
sebagai panduan bagi wartawan Indonesia dan organisasi pers dalam menjalankan
kegiatan jurnalistik yang berkaitan dengan pemberitaan ramah anak;
Mengingat :
1. Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 15 Undang
Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
2. Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;
3. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak;
4. Pasal 19 dan Pasal 97 Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 14/M Tahun
2016 tentang keanggotaan Dewan Pers periode tahun 2016-2019;
6. Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan DP/V/2008 Tentang
Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode
Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers;
Memperhatikan :
1.Nota Kesepahaman antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dengan Dewan Pers Nomor
4/set/KPP-PA/DV/02/2019 dan Nomor 02/DP/MOU/II/2019 tanggal 9 Februari 2019.
2. Hasil Focus Group Discussion pada tanggal 17 November
2018, 29 November 2018, 13 Desember 2018, Uji Publik pada tanggal 19 Desember
2018, rapat tim perumus pada tanggal 19 Januari 2019 dan Uji Publik kedua pada
tanggal 23 Januari 2019 di Jakarta.
3. Keputusan Sidang Pleno Dewan Pers pada hari Kamis tanggal
7 Februari 2019 untuk mengesahkan draft Pedoman Pemberitaan Ramah Anak menjadi
Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.
Memutuskan:
Menetapkan: PERATURAN DEWAN PERS TENTANG PEDOMAN PEMBERITAAN
RAMAH ANAK
KESATU : Mengesahkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dalam
Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Dewan Pers ini.
KEDUA : Peraturan Dewan Pers ini berlaku pada ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2019
Dewan
Pers,
Yosep Adi Prasetyo
Ketua
LAMPIRAN: PERATURAN DEWAN PERS NOMOR: 1 /
PERATURAN–DP/II/2019 TENTANG PEDOMAN PEMBERITAAN RAMAH ANAK
PEDOMAN PEMBERITAAN RAMAH ANAK
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, karena itu berhak
mendapatkan perlindungan. Selain itu, anak merupakan generasi penerus bangsa
yang harus dilindungi dari pemberitaan negatif agar mereka dapat tumbuh dengan
wajar, hidup dalam lingkungan yang kondusif, dapat berkembang normal secara
jasmani maupun rohani, untuk dapat mencapai kedewasaan yang sehat, demi
kepentingan terbaik bagi anak.
Mencermati pemberitaan yang terkait dengan anak di tanah
air, seringkali anak justru menjadi korban, obyek eksploitasi dan diungkapkan
identitasnya antara lain wajah, inisial, nama, alamat, dan sekolah secara
sengaja ataupun tidak sengaja sehingga anak tidak terlindungi secara baik.
Bahasa pemberitaan terkait anak terkadang menggunakan bahasa yang kasar dan
vulgar. Media penyiaran juga kerap menampilkan sosok anak yang disamarkan
menggunakan topeng atau diblur wajahnya namun masih bisa dikenali ciri–cirinya.
Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak dan membuat
Undang Undang yang melindungi hak anak dalam hal ini Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah, terakhir dengan
Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun terdapat perbedaan dalam pengaturan batasan usia
terkait perlindungan anak. Antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(16 th), Kode Etik Jurnalistik (16 th), Undang-Undang Perlindungan Anak (18 th)
dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (18 th) dengan Undang-undang Tindak Pidana
Perdagangan Orang (21 th), dan UU Administrasi Kependudukan (17th).
Oleh karena itu komunitas pers Indonesia yang terdiri dari
wartawan, perusahaan pers dan organisasi pers bersepakat, membuat suatu Pedoman
Penulisan Ramah Anak yang akan menjadi panduan dalam melakukan kegiatan
jurnalistik. Wartawan Indonesia menyadari pemberitaan tentang anak harus
dikelola secara bijaksana dan tidak eksploitatif, tentang suatu peristiwa yang
perlu diketahui publik
Pemberitaan Ramah Anak ini dimaksudkan untuk mendorong
komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati dan
bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak, anak yang terlibat
persoalan hukum ataupun tidak; baik anak sebagai pelaku, saksi atau korban.
Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang disepakati menggunakan
batasan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, baik masih hidup
maupun meninggal dunia, menikah atau belum menikah.
Identitas Anak yang harus dilindungi adalah semua data dan
informasi yang menyangkut anak yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak
seperti nama, foto, gambar, nama kakak/adik, orangtua, paman/ bibi, kakek/nenek
dan tidak menyebut keterangan pendukung amat rumah, alamat desa, sekolah,
perkumpulan/klub yang diikuti, dan benda–benda khusus yang mencirikan sang
anak.
Adapun rincian Pedoman Pemberitaan Ramah Anak adalah sebagai
berikut:
1. Wartawan
merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya
yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas
kejahatannya.
2. Wartawan
memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/ audio yang bernuansa
positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang
bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak
mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk
menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya
dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang
menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi
informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak
menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif,
prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek
negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak
menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam
perlindungan LPSK.
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang
pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan
menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan
hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah
diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak.
Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat,
diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita
anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi
apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya,
segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya
dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang
dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan
yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak
memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio)
hanya dari media sosial.
12. Dalam peradilan
anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak.Penilaian akhir atas sengketa pelaksanaan Pedoman ini diselesaikan
oleh Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan
Peraturan-Peraturan Dewan Pers yang berlaku.
Jakarta, 9 Februari 2019
Serta berpedoman pada:
KODE ETIK JURNALISTIK
Kamis, 28 Juli 2011
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak
asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan
kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan
bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya,
pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional
dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik
untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan
publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu,
wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita
yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran :
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta
sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi
dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif
ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara
sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran :
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar,
foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara
berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam
penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil
liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk
peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan
secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran :
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck
tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan
kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan.
Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa
interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi
seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis,
dan cabul.
Penafsiran :
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya
oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara
sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis
dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk
membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan
mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan
identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang
menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran :
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut
diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan
belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak
menerima suap.
Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang
mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas
sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda
atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi
narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya,
menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record
sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran :
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas
dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita
sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau
data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan
narasumbernya.
d. Off the record adalah segala informasi atau data dari
narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan
suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran :
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai
sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang
kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran:
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan
berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang
dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki
berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada
pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran :
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik
karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait
dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proporsional.
Penafsiran:
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang
untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta
yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan
kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun
tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang
perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik
dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan
oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
(Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers)
Posting Komentar